Jumat, 13 Januari 2012



Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy Ra. Adalah seorang Wali Qutub yang masyhur hidup pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul 'Arifan, Bukhara, Rusia. Ia adalah pendiri Thoriqoh Naqsyabandiyah sebuah thoriqoh yang sangat terkenal dengan pengikut sampai jutaan jama'ah dan tersebar sampai ke Indonesia sampai saat ini.
Syekh Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang yang akan menjadi orang besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt. maupun dihadapan sesama manusia di desa Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah Syekh Bahauddin.

Di dalam asuhan, didikan dan gemblengan dari Syekh Muhammad Baba inilah Syekh Muhammad Bahauddin mencapai keberhasilan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt.
 sampai Syekh Muhammad Baba menganugerahinya sebuah "kopiah wasiat al Azizan" yang membuat cita-citanya untuk lebih dekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin meningkat dan bertambah kuat. Sampai pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra. melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan Allah (tadhoru ') . Saat itu beliau berdo'a, "Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menerima bala ' dan cobaanya mahabbbah (cinta kepada Allah) ".
Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yangkasyaf (mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh Bahauddin, "Sebaiknya kamu dalam berdo'a begini," Ya Allah berilah aku apa saja yang Engkau ridloi ". Karena Allah tidak ridlo jika hamba-Nya terkena bala 'dan kalau memberi cobaan, maka juga memberi kekuatan dan memberikan kepahaman terhadap hikmahnya ". Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo'a sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.
Untuk lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh Bahauddin seringkali ber khalwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan dunia.Ketika beliau berkholwat dengan beberapa sahabatnya, waktu itu ada keinginan yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin untuk berbicara. Saat itulah secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, "He, sekarang kamu sudah waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah)". Setelah mendengar suara tersebut, hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan kencangnya, tubuhnya menggigil, perasaannya tidak menentu hingga beliau berjalan kesana kemari seperti orang bingung. Setelah merasa cukup tenang, Syekh Bahauddin menyiram tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah dua rokaat. Dalam sholat inilah beliau merasakan kekhusukan yang luar biasa, seolah-olah beliau berkomunikasi langsung dengan Allah Swt.
Saat Syekh Bahauddin mengalami jadzab satu kali ia mendengar suara, "Mengapa kamu melakukan Thoriq yang seperti itu? "Biar tercapai tujuanku ', jawab Syekh Muhammad Bahauddin. Terdengar lagi suara, "Jika demikian maka semua perintah-Ku harus dijalankan. Syekh Muhammad Bahauddin berkata "Ya Allah, aku akan melaksanakan semampuku dan ternyata sampai 15 hari lamanya beliau masih merasa keberatan. Terus terdengar lagi suara, "Ya sudah, sekarang apa yang ingin kamu tuju? Syekh Bahauddin menjawab, "Aku ingin thoriqoh yang setiap orang bisa menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah".
Sampai pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi ', beliau melihat lampunya kurang terang padahal minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang. Tak lama kemudian ada sinyal untuk pindah berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar Buli, tetapi disini lampunya juga seperti tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak oleh dua orang ke makam Syekh Muzdakhin, disini lampunya juga sama seperti tadi, sampai tak terasa hati Syekh Bahauddin berkata, "Tanda apakah ini?"
Kemudian Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dan tanpa sadar ia melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan, mulailah terlihat sebuah kursi yang cukup tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang sangat berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yang berkilau. Disamping kanan dan kirinya terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah wafat, Syekh Muhammad Baba.
Salah satu dari mereka berkata, "Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya. Lalu ada yang menunjuk, ini Syekh Ahmad Shodiq, Syekh Auliya 'Kabir, ini Syekh Mahmud al anjir dan ini Syekh Muhammad Baba yang saat kamu hidup telah menjadi gurumu. Kemudian Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy memberikan penjelasan tentang hal-hal yang dialami Syekh Muhammad Bahauddin, "Sesunguhnya lampu yang kamu lihat tadi merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat kuat untuk menerima thoriqoh ini, akan tetapi masih membutuhkan dan harus menambah kesungguhan sehingga betul- benar siap. Untuk itu kamu harus benar-benar menjalankan 3 hal:
1. Istiqomah memperkuat syariat.
2. Beramar Ma'ruf Nahi mungkar.
3. Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap tanpa memilih yang ringan-ringan apalagi yang bid'ah dan berpedoman pada perilaku Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra.
Kemudian untuk membuktikan kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi berangkatlah kamu untuk sowan ke Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy, di sana nanti haturkanlah kejadian pertemuan ini. Kemudian besoknya lagi, berangkatlah lagi ke Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf dan bawalah kopiah wasiat al Azizan dan letakkanlah dihadapan beliau dan kamu tidak perlu berkata apa-apa, nanti beliau sudah tahu sendiri ".
Syekh Bahauddin setelah bertemu dengan Sayyid Amir Kilal segera menempatkan "kopiah wasiat al Azizan" pemberian dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al Azizan, Sayyid Amir Kilal mengetahui bahwa orang yang ada didepannya adalah syekh Bahauddin yang telah diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Baba sebelum wafat untuk meneruskan mendidiknya.
Syekh Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi Itsbat dengan sirri. Setelah semua dilakukan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian beliau disuruh memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat. Setelah semua perintah dari Syekh Abdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar-benar dijalankan dengan kesungguhan oleh Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal yang nyata dan semua sukses bahkan beliau mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Jadi toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir al Jailaniy. Syekh Yusuf al Hamadaniy ini kalau berkata mati kepada seseorang maka mati seketika, berkata hidup ya langsung hidup kembali, lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al Busthomi naik sampai sahabat Abu Bakar Shiddiq Ra. Adapun dzikir sirri itu asalnya dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir di hadapan Syekh Sodruddin. Pada saat sampai ayat, "Berdo'alah kepada Tuhanmu dengan cara tadhorru 'dan menyamarkan diri" ...
Lalu beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy / dzikir sirri dan kaifiyahnya itu? jawab sang guru: o, itu ilmu laduni dan insya Allah kamu akan diajari dzikir khofiy.Akhirnya yang memberi pelajaran langsung adalah nabi Khidhir as.
Pada suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. bersama salah seorang teman akrab yang bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul. Kemudian ada hal yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut. Lalu berbicara tentang ma'rifat sampai datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah "Lha kalau sekarang pembicaraan kita sampai begini kan berarti sudah sampai derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati seketika". Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid, "matilah kamu!, Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.
Melihat hal tersebut Syekh Muhammad Bahauddin Ra. menjadi kebingungan, apalagi melihat mayat temannya yang telah berubah terkena panasnya matahari. Tiba-tiba ada ilham "He, Muhammad, berkatalah ahyi (hiduplah kamu). Kemudian Syekh Muhammad Bahauddin Ra. berkata ahyi sebanyak 3 kali, saat itulah terlihat mayat Muhammad Zahid mulai bergerak sedikit demi sedikit sampai kembali seperti semula. Ini adalah pengalaman pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Wali yang sangat mustajab do'anya.
Syekh Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata, "Ketika aku disuruh guruku, dari Qoshrul 'Arifan menuju Bukhara yang jaraknya hanya satu pos aku jalankan dengan sangat cepat, karena aku berjalan sambil terbang di udara.Suatu ketika saat aku terbang ke Bukhara, dalam perjalanan terbang tersebut aku bertemu dengan guruku. Sejak itu kekuatanku untuk terbang di cabut oleh Syekh Muhammad Bahauddin Ra, dan seketika itu aku tidak bisa terbang sampai saat ini ".
Berkata Afif ad Dikaroniy, "Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertobat, kemudian sembuh dengan seketika.Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Rodiyallah 'anhu wa a'aada a'lainaa min barokaatihi wa anwaarihi wa asroorihii wa' uluumihii wa akhlaaqihi Allahuma amiin.
Sumber Tulisan: 
1.
 http://darisrajih.wordpress.com/2008/02/18/keramatnya-bisa-menghidupkan-dan-mematikan-orang/ 
2.
 http://tokohsufi.wordpress.com/2009/11/08/syekh-muhammad-bahauddin-an-naqsabandiy/

Sumber Gambar:
http://tokohsufi.files.wordpress.com/2009/11/syekhmuhammadbahauddinannaqsabandiy.jpg?w=101&h=141

Riwayat Hidup
Syekh Nawawi Tanara Al-Bantani


Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayah beliau bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Syekh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana beliau memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah beliau kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayah beliau mengajar para santri.
Syekh Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat.  Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian beliau memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impian beliau untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah Syekh Nawawi melanjutkan belajar pada guru-guru yang terkenal, pertama kali beliau mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, Syekh Nawawi belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Syekh Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah  memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya beliau menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Syekh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, beliau tercatat sebagai Ulama di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena beliau harus banyak menulis kitab.

Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian kolegan beliau yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabat beliau yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karya Syekh Nawawi yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami orang awam.
Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang lain, Syekh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan. Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria.
Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Syekh Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn al-RaM’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Syekh Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula beliau sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantu beliau. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada Syekh, agar proses pembelajaran dengan Syekh tidak mengalami kesulitan.

Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang beliau tulis ini dapat dijadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang menulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara konprehenshif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Syekh Nawawi mengaku  sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini diantaranya:
  • Fath ai-Majid
  • Tijan al-Durari
  • Nur al Dzulam
  • al-Futuhat al-Madaniyah
  • al-Tsumar al-Yaniah
  • Bahjat al-Wasail
  • Kasyifat as-Suja dan
  • Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Syekh Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifat-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Beliau membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan sifat mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.
Meskipun Syekh Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurut beliau harus digunakan bersama-sama, teta pi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Syekh Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Beliau mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenarnya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Untuk hal ini dalam konteks Indonesia, sebenamya Syekh Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme.
Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa, teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah.
Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Syekh Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqh beliau seperti:
  • Syarh Safinat a/-Naja,
  • Syarh Sullam a/-Taufiq,
  • Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in dan
  • Tasyrih a/a Fathul Qarib
sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna. Dan atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis beliau mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan.
Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundang karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.

Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf,  Syekh Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan beliau bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini beliau memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Syekh Nawawi menunjukkan diri beliau seorang sufi brilian, beliau banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi.
Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu:
  • Misbah al-Zulam,
  • Qami’ al-Thugyan dan
  • Salalim al Fudala.
Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat. Pandangan tasawuf beliau meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat.  Namun atas pilihan karir dan pengembangan spesialisasi ilmu pengetahuan yg ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru-guru beliau.
Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangan beliau terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini, Syekh Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat dan ma’rifat adalah hasil dari syariat dan tarikat.
Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-tema yang beliau gunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Syekh Nawawi  dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Beliau lebih Ghazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Syekh Nawawi bagai seorang sosok al-Ghazali di era modern. Beliau lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangan beliau tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif.
Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Syekh Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika beliau diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Syekh Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Syekh Nawawi tahu bahwa di satu sisi beliau  memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.
Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keislaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya karya-karya Syekh Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional.
Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana.
Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Syekh Nawawi.
Penyebaran karya Syekh Nawawi tidak lepas dari peran murid-murid beliau. Di Indonesia murid-murid Syekh Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren, Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya.
Karya-karya Syekh Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Syekh Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf.
Meskipun beliau senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik beliau tidak mau mengajarkannya pada santri dan lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Syekh Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya,  Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi.
Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, Syekh Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain.
Peranan Syekh, para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Syekh Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekh didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Syekh Nawawi.
Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa Syekh Nawawi banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain.
Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain

Kamis, 12 Januari 2012

Biografi Tuhfah ra
(Sufi Wanita sezaman dengan Sari As-Saqati ra)

Begitu taatnya kepada Allah, akhirnya Tuhfah dianggap gila oleh majikannya. Sehingga, ia dimasukkan di RS jiwa. Tiba-tiba seorang sufi ingin menebusnya, tapi majikan Tuhfah yang semula menjual harga tinggi, akhirnya malah tidak menjual. Bahkan, mereka akhirnya menjalankan ibadah haji bersama-sama sampai meninggal dunia.


Budak Yang Sufi

SUFI wanita, Tuhfah, hidup sezaman dengan sufi Sari al-Saqati (sekitar tahun 250 H/853 M). Tuhfah seorang budak yang tidak mengenal tidur maupun makan, sepanjang hari menangis serta merintih dalam mengabdi kepada Allah. Akhirnya ketika keadaan sudah demikian gawat untuk ditangani keluarga majikannya. Mereka pun mengirim ke rumah sakit jiwa.
Sufi yang banyak bercerita tentang Tuhfah adalah Sari al-Saqati. Menurut al-Saqati, dia pergi ke rumah sakit karena kesumpekan hati nya. Di suatu kamar, ia mendapati seorang gadis hanya saja kedua kakinya dirantai Air matanya berlinangaan sepanjang hari ia selalu melantunkan syair.
Ketika ingin tahu identitas gadis itu, seorang perawat mengatakan ia seorang budak yang gila dan bernama Tuhfah. la dikirim oleh seseorang yang rupanya majikannya. Ketika perawat itu menerangkan kepada al-Saqati perihal dirinya. la pun berlinang matanya.
Tuhfah berkata, “Tangisanmu ini, lahir dari pengetahuanrnu tentang sifat-sifat Allah. Bagaimana jadinya jika engkau benar-benar mengenal-Nya sebagaimana dibutuhkan oleh makrifat hakiki?” Setelah berkata begitu Tuhfah pingsan satu jam. Sesudah itu ia bersyair kembali.
Saqati menganggap, Tuhfah sebagai saudara. Ketika Saqati bertanya siapa yang memenjarakan (maksudnya mengirim) ke rumah sakit ini?” Orang-orang yang iri dan dengki,” jawabnya. Mendengar jawaban itu, Saqati menganjurkan kepada petugas rumah sakit itu agar Tuhfah dilepas saja dan membiarkan ia pergi ke mana saja. Melihat gelagat itu Tuhfah bereaksi.

SAQATI BERDOA

Mendadak seseorang muncul di rumah sakit. Menurut seorang perawat, dia adalah majikan Tuhfah. Siapa yang memberi tahu, kalau budaknya yang gila itu sudah bersama al-Saqati, seorang syaikh. la sangat gembira dan mengatakan barangkali Sufi yang datang itu bisa menyembuhkan budaknya. la mengaku bahwa dirinya yang mengirim ke rurnah sakit. Seluruh hartanya sudah ludes untuk membiayai pengobatannya. Katanya budak itu dibeli dengan harga 20.000 dirham.
Saqati tertarik rnembeli karena ketrampilannya sebagai penyanyi, sementara alat musik yang sering ia pakai adalah harpa. la seorang sufi wanita yang begitu kuat cintanya kepada Allah.
Mendengar kisah itu Saqati kemudian dengan berani menawar berapa saja uang yang diminta jika sang majikan menjualnya. Sang majikan menukas, “Wahai Saqati, engkau benar seorang sufi, tetapi engkau sangat fakir, tidak bakalan bisa menebus harga Tuhfah,” tukasnya.
Benar apa yang dikatakan majikan Tuhfah. Kala menawar, Saqati tak memiliki uang sedirham pun. Saqati pulang dengan hati menangis. Tekadnya untuk membeli Tuhfah begitu besar dan menggebu-gebu, namun apa dikata, uang pun ia tak mengantungi. Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui keadaan lahiriah dan batiniahku. Hanya dalam rahmat dan anugerah-Mu aku percayakan diriku. Janganlah Engkau hinakan diriku kini!”
Selesai berdoa tiba-tiba pintu diketuk orang. Saqati pun membuka pintu. Didapati seseorang yang mengaku bernama Ahmad Musni dengan membawa empat orang budak yang memanggul pundi-pundi. Musni mendengar suara gaib, agar ia membawa lima pundi-pundi ke rumah Sari Al Saqati, supaya sufi fakir itu memperoleh kebahagiaan untuk membeli Tuhfah. Itulah salah satu karomah yang dimiliki al-Saqati.

HAJI BERSAMA

Mendengar cerita Musni itu, Saqati langsung sujud sukur, dilanjutkan dengan salat malam, dan bangun sampai pagi. Ketika matahari sepenggalah, Saqati mengajak Musni ke rumah sakit. Majikan Tuhfah yang mengejeknya itu sudah
berada di rumah sakit lebih dahulu. Ketika hendak dibayar berapa saja harga yang diminta, majikan itu malah mengelak, “Tidak Tuan, sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk mernbelinya, aku tidak mau menerimanya. Aku telah membebaskan Tuhfah. la henar-benar bebas untuk mengikuti kehendak Allah,” tuturnya.
Mendengar kata-kata majikan itu, Ahmad Musni yang memberi Saqati lima pundi-pundi ikut menangis. Musni menangis karena terharu kepada majikan itu yang sudah meninggalkan duniawi, melepaskan hartanya seperti dirinya juga.” Betapa agung berkah yang diberikan Tuhfah, kepada kita bertiga ini” ujar Musni sambil menatap Sari Al Saqati dan majikan Tuhfah.
Ketiga orang itu pun kini berperilaku seperti sufi. Ketiganya pergi haji ke Makkah Dalam perjalanan Baghdad-Makkah Musni meninggal dunia Ketika sampai di Baitullah dan keduanya thawaf, Ketika saqati memberi tahu, bahwa Musni sudah meninggal Tuhfah berkomentar, “Di surga ia akan menjadi tetanggaku, Belum ada seorang pun yang melihat nikmat yang diberikan kepadanya”.
Ketika Saqati memberi tahu bahwa majikannya juga melaksanakan haji bersamanya, Tuhfah hanya berdoa sebentar, sesudah itu ia roboh di samping Kakbah. Ketika majikannya datang dan melihat Tuhfah sudah tak bernyawa, ia sangat sedih dan roboh di sampingnya. Saqati kemudian memandikan, mengkafani, menyalati dan menguburkan Tuhfah dan majikannya. Saqati selesai berhaji pulang sendirian ke Irak.

Syair-Syair Mahabbah Tuhfah kepada Allah
Aku bahagia berada dalam jubah Kesatuan
yang Engkau kenakan pada diriku
Engkaulah Tuhanku, dan Tuhan dalam kebenaran, seluruhnya
Hasrat-hasrat sekilas mengepung qalbuku
Namun, setiap dorongan berhimpun dalam diri-Mu
bersama-sama, saat kutatap diri-Mu
Segenap tenggorokan tercekik kehausan pun
terpuaskan air minuman
Tapi, apa yang terjadi atas orang orang yang kehausan oleh air?
Qalbuku pun merenungkan dan merasa sedih atas segenap dosa dan kesalahan di masa lalu
Sementara jiwa yang terikat raga ini pun menanggung derita kepedihan
Jiwa dan pikiranku pun kenyang dengan kerinduan
Ragaku pun sepenuhnya bergelora dan membara
Sementara dalam relung qalbuku, cinta-Mu pun tertutup rapat-rapat

Betapa sering aku kembali menghadap kepada-Mu
seraya memohon ampunan-Mu
Wahai junjunganku, wahai Tuhanku,
Engkau tahu apa yang ada dalam diriku
Kepada orang banyak telah kuserahkan dunia dan agamanya
Dan aku sibuk terus menerus mengingat-Mu
Engkau, yang  merupakan agama dan duniaku

Sesudah mencari-Mu dengan kecemburuan liar seperti ini,
kini akyu dibenci dan didengki
Karena Engkau adalah Tuhanku
kini akulah kekasih di atas segalanya

Ada lagi syair Tuhfah ra. lainnya
Qalbuku, yang mabuk oleh anggur lembut kasih sayang dan cinta,
kembali merindukan kekasihnya
Wahai, menangislah! Bebaslah dalam menangis di Hari Pengasingan
Air mata berlimpah yang jatuh berderai sesungguhnya baik semata
Betapa banyak mata yang dibuat Allah menangis ketakutan dan merasa risau kepada-Nya
kemudian merasa lega dan tentram
Sang budak yang tak sengaja berbuat dosa tapi menangis penuh penyesalan tetaplah seorang budak
Sekalipun ia kebingungan dan begitu ketakutan
Dalam qalbunya lampu terang pun bersinar cemerlang.